Jumat, 13 Juni 2014

WISATA RELIGI MAULID BESAR (MAUDU’ LOMPOA) DI CIKOANG KABUPATEN TAKALAR



          Perayaan Maulid Besar (Maudu’ Lompoa) adalah tradisi masyarakat Desa Cikoang, Kabupaten Takalar – Sulawesi Selatan, yang telah menjadi ajang wisata tahunan. Perayaan ini merupakan puncak dari seluruh Perayaan Maulid di Kabupaten Takalar yang selesai digelar sebelumnya pada tahun yang sama.

          Jarak tempuh menuju lokasi wisata religi dari Kota Makassar dicapai sejauh 80 kilo meter.
Maudu’ Lompoa ini selalu dipadati hingga ribuan pengunjung, mulai dari masyarakat sekitar Desa Cikoang sendiri, hingga wisatawan dalam negeri maupun mancanegara ikut hadir menyaksikan serunya ritual ini.

Konon tradisi Maudu’ Lompoa telah ada sejak abad 17 dimasa Pemerintahan Sultan Alauddin (Raja Gowa), yang dibawa oleh Ulama Besar yang berasal dari Aceh yaitu Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid.

Perayaan Maudu’ Lompoa merupakan ungkapan rasa suka cita masyarakat Desa Cikoang di Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW, juga ungkapan syukur masyarakat setempat atas berlimpahnya berkah rejeki yang diterima dari hasil panen ditahun tersebut.

Persiapan Maudu’ Lompoa ini dimulai dengan menyediakan beras, ayam, telur, minyak kelapa, julung-julung (perahu), bagi setiap orang dalam satu keluarga / kelompok di Desa Cikoang. Sementara pihak penyelenggara / panitia ikut menyiapkan panggung upacara dan berbagai persiapan lain, yang lokasinya harus berada tidak jauh dari tepi sungai Cikoang dan pada area tempat berdirinya Balla’ Lompoa (rumah adat berupa aula ukuran besar).

Sebulan sebelum 12 Rabiul Awal, sekitar tanggal 10 Shafar, ayam - ayam tadi yang telah disiapkan oleh masyarakat Cikoang, sudah harus dikurung dengan maksud agar ayam tersebut tidak lagi makan barang najis.

Setiap orang dalam sebuah keluarga atau kelompok sekurang – kurangnya menyediakan satu ekor ayam yang sehat. Setelah tiba masa peringatan, ayam - ayam harus disembelih oleh “Anrongguru” (tokoh dari keluarga Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid diatas tadi) yang akan memimpin prosesi upacara Maudu’ Lompoa nantinya. Puluhan Anrongguru akan hadir nantinya guna mengatur dan menjalankan prosesi ritual Maudu’ Lompoa.

Beras yang dipakai harus diproses sendiri, yaitu ditumbuk pada sebuah lesung (tempat menumbuk padi) yang sudah dibersihkan. Syaratnya, lesung tersebut harus dipagari dan tidak boleh rapat ke tanah. Orang yang menumbuk beras juga tidak boleh menaikkan kakinya diatas lesung. Sementara padi yang ditumbuknya pun tidak boleh jatuh ke tanah walau sebiji.

Ampas dari beras harus dikumpul baik - baik pada tempat yang tidak mudah kena kotoran sampai selesainya dibacakan Surat Rate’ (Kitab Maudu’), berupa kitab yang menceritakan kelahiran nabi sampai riwayat datangnya Islam yang dibawa oleh Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid.

Ukuran banyaknya beras untuk setiap orang diharuskan 4 liter, yang bermakna bahwa setiap manusia terdiri atas 4 unsur, yaitu tanah, air, angin dan api. Bakul yang digunakan harus juga terbuat dari daun lontar yang berukuran minimal untuk 4 liter beras dan 1 ekor ayam. Ukuran bakul bertingkat - tingkat sesuai banyaknya jumlah anggota keluarga atau pengikut ritual ini. Biasanya keluarga atau kelompok yang besar bakulnya, maka pengikutnya pun akan banyak meramaikan dan memeriahkan suasana Maudu’ Lompoa nantinya.

Minyak kelapa yang digunakan harus diproses sendiri serta khusus dibuat hanya untuk acara tersebut, jadi tidak boleh digunakan untuk kebutuhan lain. Nanti pada saat upacara Maudu’ Lompoa telah selesai, barulah minyak tadi diperbolehkan untuk digunakan bagi kebutuhan lain. Sabuk dan tempurungnya pun harus dikumpulkan pada suatu tempat yang tidak ternoda, ataukah dibakar kemudian segera timbun didalam tanah agar tidak terkena najis.

Telur yang disiapkan direbus terlebih dahulu serta diberi aneka warna, lalu ditusuk pada ujung bambu runcing yang telah dibelah - belah kecil sebelumnya, kemudian ditancapkan di atas bakul.

Persiapan lainnya adalah:

Ammone baku’ (mengisi bakul). Pada persiapan ini orang yang berhak mengisi bakul adalah perempuan yang suci dari hadas dan najis (selalu berwudhu), prosesinya adalah mengisi bakul dengan nasi setengah masak, kemudian ayam yang telah disembelih dan telah dibersihkan, dibungkus daun pisang lalu dimasukkan ke dasar bakul, selanjutnya menutup permukaan bakul dengan daun pisang atau daun kelapa muda. Adapun telur - telur rebus berwarna – warni yang masing – masing telah ditusukkan setangkai kayu kecil, harus ditancapkan di atas nasi (bakul) tadi.

Ammode baku’ (menghiasi bakul). Yang dihiasi bukan bakul, melainkan tempat di mana bakul itu akan dimuat dengan aneka warna dari berbagai hiasan yang bernila tinggi. Hiasan - hiasan ini akan menjadi ukuran tingkat kemampuan sosial pemiliknya. Karena itulah, sebagian orang biasanya menjual barang berharga miliknya untuk memperoleh biaya agar mampu membuat “Kanre Maudu” (Nasi Maulid) berukuran besar.

Selain itu, ada juga dibuat sebuah “Julung – Julung” (replika Perahu Pinisi) dari bambu atau kayu dengan dua buah tiang layar, yang dihiasi kain berwarna - warni sebagai layar dan bendera (perlambang datangnya ajaran kebenaran dari Nabi yang dibawa oleh Sayyid Jalaluddin Al’ Aidid). Perahu tersebut bertiang empat serta agak tinggi sehingga bentuknya mirip dengan panggung. Pada bagian belakang perahu biasanya ditempelkan uang kertas Rp.5.000-an atau Rp 10.000-an.

Dalam satu keluarga yang punya kemampuan ekonomi cukup, maka diharuskan membuat sebuah Julung - Julung. Sementara bagi keluarga yang kurang mampu, biasanya membentuk sebuah kelompok bersama beberapa keluarga kurang mampu lainnya agar mereka juga dapat membuat sebuah Julung - Julung.

Perahu ini dihiasi beragam jenis dekorasi termasuk perelengkapan sehari – hari yang bersih dan masih terlihat baru, seperti: kain, seprei, baju, celana, bahkan lemari plastik, sabun, odol, hingga panci yang bergelantungan di sepanjang sisi Julung - Julung. Pada akhirnya Julung – julung ini hanya ditempatkan ditepi sungai Cikoang.

Namun sebelumnya perahu – perahu replika tersebut diarak dan dikumpulkan disuatu lapangan (alun – alun) tepat didepan Balla’ Lompoa sambil diiringi suara gendang yang ditabuh bertalu – talu. Disamping itu suasana ini dimeriahkan juga dengan permainan adu pencak silat oleh para pemuda setempat.

          Kemudian dilanjutkan dengan tahap pelaksanaan upacara di lapangan (alun – alun) yang meliputi:

1. Angngantara’ Kanre Maudu (mengantar persiapan Maulid). Lokasi Maudu’ Lompoa adalah di tepi Sungai Cikoang. Pada pagi hari tanggal 29 Rabiul Awal segala persiapan dan perlengkapan ritual diarak oleh masing - masing pemiliknya dengan doa tersendiri.

2. Pannarimang Kanre Maudu (penerimaan Nasi Maulid). Penerimaan ini dilakukan oleh Guru (tokoh agama keturunan langsung dari Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid) yang memimpin upacara Maudu’ Lompoa, dengan membakar dupa dan duduk bersila menghadap kiblat sambil membaca doa agar persembahannya itu diterima dan menyenangkan Rasulullah SAW.

3. Rate’ (pembacaan Syair Pujian pada Rasulullah SAW dan Keluarganya). A’rate’ (inti acara) artinya membaca kisah atau syair-syair pujian terhadap Rasulullah SAW dan Keluarganya dengan lagu dan irama tersendiri yang amat khas dan menyentuh hati.

Acara ini biasanya berlangsung sekitar dua jam. Kitab Rate’ ini merupakan karya besar Sayyid Jalaluddin Al`Aidid dan menjadi inti ajaran - ajarannya dalam tarekat “Nur Muhammad” (kelahiran Nabi Muhammad SAW dialam gaib atau arwah, selain kelahiran dialam Syahadah atau dunia, menurut keyakinan Masyarakat Cikoang). Setelah berakhirnya acara ini, maka selesailah inti acara Maudu’ Lompoa.

4. Pattoanang (istirahat untuk menjamu). Yaitu jamuan undangan yang disediakan sesudah selesai upacara inti dari ritual. Jamuan yang dihidangkan dibuat sendiri oleh penyelenggara / panitia acara tersebut, dan para undangan / peserta dapat menikmati makanan dan minuman yang telah disediakan.

5. Pambageang Kanre Maudu’ (Pembagian Nasi Maulid). Setelah semua acara berlangsung, maka para tamu yang bersiap untuk pulang, akan dibagikan makanan (Kanre Maudu’) sebagai berkah dari nabi melalui penyelenggara acara.




Sumber:

- http://kiiaaningsih.wordpress.com/2013/04/05/sejarah-maudu-lompoa-cikoang-takalar/

- https://id.berita.yahoo.com/maudu-lompa-tradisi-merawat-alam-dari-cikoang-takalar-140455666.html






Minggu, 08 Juni 2014

FESTIVAL LEMBAH BALIEM



          Lembah Baliem ditemukan pada tanggal 21 Juni 1938 oleh ekspedisi zoologi ketiga melalui pesawat udara yang dipimpin oleh Richard Archbold untuk New Guinea. Letak geografis lembah tersebut berada disebelah selatan wilayah Jayapura. Lembah ini juga disebut Grand Baliem Valley, terletak di Desa Wosilimo, Wamena – Papua.

          Berada dipegunungan Jayawijaya dan memiliki suhu antara 10 – 15 derajat celcius, karena berada diketinggian 1600 meter dari permukaan laut. Di Lembah Baliem ini bermukim Suku Dani, Suku Lani, dan Suku Yali, yang diperkirakan jumlah mereka sekitar 100.000 jiwa.

Awalnya Festival Lembah Baliem ini adalah berupa upacara tradisi yang bercerita tentang perang antar Suku Dani, Suku Lani, dan SukuYali, yang dituangkan dalam bentuk seni budaya. Jadi bukanlah merupakan perang yang sebenar – benarnya. Tujuannya untuk mengekspresikan rasa suka cita mereka atas kesuburan alam dan kesejahteraan masyarakatnya.

Namun kemudian upacara tersebut akhirnya dijadikan sebagai produk wisata dari Tanah Papua sejak tahun 1989, dengan sebutan Festival Lembah Baliem. Mengunjungi festival tersebut dijamin aman, karena tidak akan menimbulkan korban jiwa seperti dalam perang sungguhan.

Festival Lembah Baliem sudah menjadi agenda wisata tahunan yang diadakan setiap bulan Agustus sehingga bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Festifal ini degelar selama tiga hari berturut – turut.


Cerita perang dalam Festival Lembah Baliem ini juga berdasarkan skenario yang sangat menarik dan seru, karena berisikan tentang adegan pembunuhan antar suku, penculikan warga, bahkan penyerbuan atas ladang yang baru dibuka. Kemudian terjadilah aksi balas dendam melaui adegan penyerbuan antar suku tadi. Makna dari adegan ini mengandung nilai nilai positif dengan sebutan “Yogotak Hubuluk Motog Hanoro” yang berarti “Harapan Akan Hari Esok Yang Harus Lebih Baik dari Hari Ini”.

Festival Lembah Baliem dimeriahkan juga dengan tari - tarian, lagu - lagu, dan permainan musik yang semuanya khas Papua, bahkan memasak daging babi dibawah tanah.

Puncak acara dari Festival Lembah Baliem adalah setiap suku akan mengirim prajurit dan pasukan tempur terbaiknya untuk turun dalam arena perang. Mereka akan tampil dengan tanda – tanda kebesaran dari masing – masing suku, seperti:

- Koteka yang dipakai Suku Yali lebih panjang dan ramping yang diikatkan pada pinggang dengan menggunakan kulit rotan,

- Sementara koteka yang digunakan oleh Suku Dani ukurannya lebih kecil,

- Lain lagi dengan koteka yang dipakai Suku Lani ukurannya besar karena postur tubuh mereka yang juga lebih besar. 

Untuk berkunjung ke festival ini sebaiknya ikut via travel, agar anda disediakan kebutuhan makan - minum tersendiri  saat mengikuti Festival Lembah Baliem yang berlangsung selama tiga hari tersebut. 

Pada festival ini juga banyak terdapat hasil kerajinan tangan khas Lembah Baliem yang dijual ke para pengunjung.

Beberapa tempat wisata dapat kita temui disekitar wilayah Wamena, diantaranya: mumi Kepala Desa Aikima yang telah berumur 250 tahun, ada juga mata air pegunungnan mengandung garam yang telah ada selama berabad – abad digunakan oleh masyarakat setempat, dan kunjungan ke desa tradisional Wauma.

Fasilitas penginapan bagi wisatawan sangat mudah ditemui di Wamena, mulai dari kelas standart sampai internasional semuanya ada.